Pages

Jumat, 31 Agustus 2012

Pengalaman Interview Kerja


       Ini sudah kedua kalinya aku bekerja. Sebelumnya aku pernah bekerja pada sebuah sanggar seni sebagai tenaga administrasi. Aku diterima bekerja disana tanpa persyaratan apapun, bahkan sampai saat ini belum selembarpun surat lamaran atau CV aku serahkan pada perusahaan tersebut. Tetapi kali kedua ini sangat berbeda. Sejak awal aku telah menyerahkan Surat Lamaran Kerja, CV, pas photo 3x4 dan 4x6, serta Foto copy ijazah terakhir yang dilegalisir.

       Setelah hampir dua minggu menunggu panggilan, akhirnya aku mendapat telpon dari Bapak Personalia untuk mengikuti test interview. Pada hari dan jam yang ditentukan aku pun datang, 30 menit lebih awal. Setelah menunggu 15 menit dari waktu yang ditentukan, aku pun dipesilahkan memasuki ruangan si Bapak Personalia.

Interview dimulai..

"Semalam kamu mimpi apa?" tanya sorang laki-laki tua berambut putih hampir sempurna memulai percakapan.

Mendengar pertanyaan seperti itu dahiku mengkerut, "Mmmh.. Nggak mimpi apa-apa pak." jawabku sekenanya sambil kebingungan.

Sebenernya ini mau interview kerja apa mau diramalin jodoh si?? celetukku dalam hati.
Belum sempat aku tertawa karena celetukkan ku, si Bapak Personalia langsung menjawab, "Waah.. Kalo nggak mimpi apa-apa nanti nggak jadi nih kerjanya"

Haahh?? Mendadak aku menjadi terlihat sangat dungu. Kebingunganku semakin menjadi, aku rasa si Bapak tua itu sedikit demam atau mungkin masih sangat kental dengan kepercayaan nenek-kakek moyangku yang percaya kalau bermimpi menonton banjir maka akan mendapat rezeki, dan sebagainya.

Aku hanya memperlihatkan senyum kebingungan yang kemudian langsung dilanjutkan pertanyaan yang lebih aneh.

“Kamu udah nikah apa belum?”.

“Belum Pak.” Jawabku singkat.

“Mau nikah nggak?. Udah punya pacar?”, pertanyaan yang tambah aneh.

“Nanti Pak masih lama, nunggu kuliahnya selesai dulu. Belum punya pak.”
Tuh kan, bener. Kayaknya mau dicariin jodoh nih.. hhehe. Aku yang udah mulai ikutan nggak serius cengengesan dalam hati. Tapi yang pasti harus tetep positif thinking aja.

“Kalau nanti diterima kerja disini jangan nikah dulu sampe 3 tahun, soalnya nanti kalo udah nikah banyak cuti ini – itu, ujung-ujungnya nanti nggak lama terus keluar. Saya udah interview capek-capek masa kerja cuma sebentar.” Katanya menerangkan dengan muka mulai serius. Tapi, capek-capek gimana? Dari tadi juga cuma bercanda doang.. gumamku dalam hati.

       Akhirnya aku mengangguk tanda mengerti sekaligus lega karena tidak jadi dicarikan jodoh. Kemudian interview berjalan normal. Mulai dari pertanyaan asal sekolah, kemampuan, pengalaman, alamat rumah, tempat kuliah, jarak dari sini ke kampus, waktu kuliah, sampai pada test tertulis. Aku diberikan selembar kertas berisi soal cerita. Tadinya aku fikir tes tertulisnya seputar psikotes atau matematika, tapi ternyata hanya sebuah study kasus dimana aku harus menuliskan ; apa yang akan saya lakukan jika suatu saat seluruh karyawan melakukan demo meminta kenaikan gaji? dan bagaimana sikap saya jika suatu saat perusahaan sedang bangkrut dan tidak mampu membayarkan gaji tepat pada waktunya?. Hmm,, agaknya justru soal ini lebih sulit dari psikotes. Karena ini berarti mereka ingin tahu loyalitasku kepada perusahaan. Kalau di jawab jujur, berarti nggak bakal lulus. Tapi kalo di jawab bohong, berarti mulai hari itu aku sudah harus belajar menanamkan loyalotas kepada perusahaan. Yaah,, akhirnya tanpa berfikir lama-lama aku putuskan untuk menjawab dengan jawaban yang pastinya sudah diharapkan oleh si Bapak Personalia. Kenapa harus bingung? Bukankah jika kita siap bekerja maka kita mau tak mau harus memberikan loyalitas kita kepada perusahaan ?. Jangankan perusahaan, aku saja yang hanya jualan pulsa elektrik - yang jelas-jelas aku sendiri direktur, pemasaran sekaligus operatornya pernah mengalami bangkrut, apa lagi perusahaan yang di jalankan oleh banyak kepala, banyak orang, dan juga banyak saingan dari lokal sampai internasional.

Setelah selesai test tertulis, kemudian dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan lagi.

“Tinggi kamu berapa?” tanya si Bapak Personalia.

“158 cm, Pak”

“Cuma 158? Ngga nyampe 160 cm ya?” nada si Bapak tua sedikit naik, dahinya mengkerut.

“Emang harus 160 cm ya pak?” kaya mau jadi Abang None aja sambungku dalam hati.

“Iya, di sini kalau mau di kantor harus tinggi. Coba kamu berdiri dulu, Bapak mau lihat”. 

Kemudian aku segera bangkit dan berdiri, “Tapi saya bisa pake higheels 7 cm ko Pak” sambarku tidak mau kalah.

“Lha itu kamu pake hak berapa centi?” tanya si Bapak Personalia sambil melihat sepatuku.

“Ini paling cuma 2 centi pak.” Yes! masih ada kesempatan, batinku.

“Yasudah, kamu duduk lagi” perintahnya tanpa tanda keberatan dengan usulku tadi.

     Aku duduk dengan lega, karena aku yakin pertanyaan selanjutnya pasti tinggal seputar kemampuan akademisku saja. Dan memang benar pertanyaan yang diajukan kemudian hanya soal keahlianku dalam menggambar desain sebuah tempat cuci motor versi dua dimensi dan tiga dimensi. Meskipun aku tidak pernah menggambar denah dan bangunan sebelumnya, tapi aku menyanggupi semua tantangan yang diberikan.

“Tapi beneran bisa kan?. Jangan nanti ngga bisa ngaku-ngaku bisa..” celetuk Bapak Personalia yang sepertinya sudah hapal dengan hal seperti itu.

Hehehe ... tau aja si Bapak. Tapi saya mah bukan ngaku-ngaku Pak, ini namanya PR supaya saya mulai belajar lagi. Kejujuranku dalam hati karena merasa disentil oleh kata-kata Bapak Personalia barusan.
“Siap, Pak. Bisa dipertanggung jawabkan. Saya cuma butuh lebih banyak belajar lagi, karena waktu di Sekolah dulu belum begitu mahir. Lagi pula saya orangnya suka tantangan Pak.” jawabku meyakinkan.

Akhirnya interview pun selesai. Aku meninggalkan ruangan dengan lega. Sejak diperjalanan pulang aku sudah memikirkan untuk kembali menyegarkan otakku dengan mempelajari lagi bebrapa program desain dua dimensi dan tiga dimensi sebagai bentuk tanggung jawabku atas ucapanku tadi, sekaligus untuk mengisi waktu luangku selama menjadi pengangguran. :)

2 komentar: