Ini sudah kedua kalinya aku bekerja. Sebelumnya aku pernah bekerja pada
sebuah sanggar seni sebagai tenaga administrasi. Aku diterima bekerja disana
tanpa persyaratan apapun, bahkan sampai saat ini belum selembarpun surat
lamaran atau CV aku serahkan pada perusahaan tersebut. Tetapi kali kedua ini
sangat berbeda. Sejak awal aku telah menyerahkan Surat Lamaran Kerja, CV, pas
photo 3x4 dan 4x6, serta Foto copy ijazah terakhir yang dilegalisir.
Setelah hampir dua minggu menunggu panggilan, akhirnya aku mendapat telpon
dari Bapak Personalia untuk mengikuti test interview. Pada hari dan jam yang
ditentukan aku pun datang, 30 menit lebih awal. Setelah menunggu 15 menit dari
waktu yang ditentukan, aku pun dipesilahkan memasuki ruangan si Bapak
Personalia.
Interview dimulai..
"Semalam kamu mimpi apa?" tanya sorang laki-laki tua berambut
putih hampir sempurna memulai percakapan.
Mendengar pertanyaan seperti itu dahiku mengkerut, "Mmmh.. Nggak mimpi
apa-apa pak." jawabku sekenanya sambil kebingungan.
Sebenernya ini mau interview kerja apa mau diramalin jodoh si??
celetukku dalam hati.
Belum sempat aku tertawa karena celetukkan ku, si Bapak Personalia langsung
menjawab, "Waah.. Kalo nggak mimpi apa-apa nanti nggak jadi nih
kerjanya"
Haahh?? Mendadak aku menjadi terlihat sangat dungu. Kebingunganku
semakin menjadi, aku rasa si Bapak tua itu sedikit demam atau mungkin masih
sangat kental dengan kepercayaan nenek-kakek moyangku yang percaya kalau
bermimpi menonton banjir maka akan mendapat rezeki, dan sebagainya.
Aku hanya memperlihatkan senyum kebingungan yang kemudian langsung
dilanjutkan pertanyaan yang lebih aneh.
“Kamu udah nikah apa belum?”.
“Belum Pak.” Jawabku singkat.
“Mau nikah nggak?. Udah punya pacar?”, pertanyaan yang tambah aneh.
“Nanti Pak masih lama, nunggu kuliahnya selesai dulu. Belum punya pak.”
Tuh kan, bener. Kayaknya mau dicariin
jodoh nih.. hhehe. Aku yang udah mulai ikutan nggak serius cengengesan
dalam hati. Tapi yang pasti harus tetep positif
thinking aja.
“Kalau nanti diterima kerja disini jangan nikah dulu sampe 3 tahun, soalnya
nanti kalo udah nikah banyak cuti ini – itu, ujung-ujungnya nanti nggak lama
terus keluar. Saya udah interview capek-capek masa kerja cuma sebentar.”
Katanya menerangkan dengan muka mulai serius. Tapi, capek-capek gimana? Dari tadi juga cuma bercanda doang.. gumamku
dalam hati.
Akhirnya aku mengangguk tanda mengerti sekaligus lega karena tidak jadi
dicarikan jodoh. Kemudian interview berjalan normal. Mulai dari pertanyaan asal
sekolah, kemampuan, pengalaman, alamat rumah, tempat kuliah, jarak dari sini ke
kampus, waktu kuliah, sampai pada test tertulis. Aku diberikan selembar kertas
berisi soal cerita. Tadinya aku fikir tes tertulisnya seputar psikotes atau
matematika, tapi ternyata hanya sebuah study kasus dimana aku harus menuliskan ;
apa yang akan saya lakukan jika suatu saat seluruh karyawan melakukan demo meminta
kenaikan gaji? dan bagaimana sikap saya jika suatu saat perusahaan sedang
bangkrut dan tidak mampu membayarkan gaji tepat pada waktunya?. Hmm,, agaknya
justru soal ini lebih sulit dari psikotes. Karena ini berarti mereka ingin tahu
loyalitasku kepada perusahaan. Kalau di jawab jujur, berarti nggak bakal lulus.
Tapi kalo di jawab bohong, berarti mulai hari itu aku sudah harus belajar menanamkan
loyalotas kepada perusahaan. Yaah,, akhirnya tanpa berfikir lama-lama aku
putuskan untuk menjawab dengan jawaban yang pastinya sudah diharapkan oleh si
Bapak Personalia. Kenapa harus bingung? Bukankah jika kita siap bekerja maka
kita mau tak mau harus memberikan loyalitas kita kepada perusahaan ?. Jangankan
perusahaan, aku saja yang hanya jualan pulsa elektrik - yang jelas-jelas aku
sendiri direktur, pemasaran sekaligus operatornya pernah mengalami bangkrut,
apa lagi perusahaan yang di jalankan oleh banyak kepala, banyak orang, dan juga
banyak saingan dari lokal sampai internasional.
Setelah selesai test tertulis, kemudian dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan lagi.
“Tinggi kamu berapa?” tanya si Bapak Personalia.
“158 cm, Pak”
“Cuma 158? Ngga nyampe 160 cm ya?” nada si Bapak tua sedikit naik, dahinya
mengkerut.
“Emang harus 160 cm ya pak?” kaya mau
jadi Abang None aja sambungku dalam hati.
“Iya, di sini kalau mau di kantor harus tinggi. Coba kamu berdiri dulu,
Bapak mau lihat”.
Kemudian aku segera bangkit dan berdiri, “Tapi saya bisa pake higheels 7 cm
ko Pak” sambarku tidak mau kalah.
“Lha itu kamu pake hak berapa centi?” tanya si Bapak Personalia sambil
melihat sepatuku.
“Ini paling cuma 2 centi pak.” Yes!
masih ada kesempatan, batinku.
“Yasudah, kamu duduk lagi” perintahnya tanpa tanda keberatan dengan usulku
tadi.
Aku duduk dengan lega, karena aku yakin pertanyaan selanjutnya pasti tinggal
seputar kemampuan akademisku saja. Dan memang benar pertanyaan yang diajukan
kemudian hanya soal keahlianku dalam menggambar desain sebuah tempat cuci motor
versi dua dimensi dan tiga dimensi. Meskipun aku tidak pernah menggambar denah
dan bangunan sebelumnya, tapi aku menyanggupi semua tantangan yang diberikan.
Hehehe ... tau aja si Bapak. Tapi saya
mah bukan ngaku-ngaku Pak, ini namanya PR supaya saya mulai belajar lagi. Kejujuranku
dalam hati karena merasa disentil
oleh kata-kata Bapak Personalia barusan.
“Siap, Pak. Bisa dipertanggung jawabkan. Saya cuma butuh lebih banyak
belajar lagi, karena waktu di Sekolah dulu belum begitu mahir. Lagi pula saya
orangnya suka tantangan Pak.” jawabku meyakinkan.
Akhirnya interview pun selesai. Aku meninggalkan ruangan dengan lega. Sejak diperjalanan pulang aku sudah memikirkan untuk kembali menyegarkan otakku dengan mempelajari lagi bebrapa program desain dua dimensi dan tiga dimensi sebagai bentuk tanggung jawabku atas ucapanku tadi, sekaligus untuk mengisi waktu luangku selama menjadi pengangguran. :)
dan akhirnya di terima, good job!
BalasHapushhe .. Alhamdulillah yah ..
BalasHapus